KEWAJIBAN MENGIKUTI PETUNJUK RASULULLOH DAN LARANGAN BERKREASI DALAM IBADAH
Tinggal satu pertanyaan di benak kita, jika Rasululloh telah
menyampaikan seluruh syariat Islam, dan Alloh telah menyempurnakannya,
apa kewajiban kita terhadap hal ini?.
Firman Alloh:
Firman Alloh:
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (Q.S: Al-An’Am: 153).
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (Q.S: Al-An’Am: 153).
Firman Alloh:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah
Dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Q.S: Al-Ahzab: 36).
Firman Alloh:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (Q.S: An-Nuur: 63).
Firman Alloh:
Firman Alloh:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (Q.S Al-Ahzab:
21).
Firman Alloh:
Firman Alloh:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Imron: 31).
Firman Alloh:
وََمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”. (Q.S Al-Hasyer: 7).
Rasululloh bersabda: “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa
kepada Alloh dan mendengar dan taat walaupun dia (seorang pemimpin)
adalah budak dari afrika, sesungguhnya diantara kalian yang hidup akan
melihat banyak perselisihan, oleh karena itu wajib bagi kalian mengikuti
sunnahku dan sunnah para khulafa rosyidun yang telah mendapatkan
pentunjuk dan mempunyai kematangan, pegangilah ia dengan kuat seperti
kalian menggigit dengan gigi gerahang, dan jauhilah atas kalian
perkara-perkara yang baru (tidak ada petunjuknya dalam al-Quran dan
Sunnah dengan tujuan beribadah kepada Alloh), karena sesungguhnya
seluruh perkara yang baru adalah bid’ah, dan seluruh bid’ah itu
menyesatkan”. (Hadits shohih riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu
Majah).
Rasululloh bersabda: “Barangsiapa yang melakukan sebuah amalan
yang tidak ada tuntunannya dariku, maka amalan itu akan tertolak” (H.R
Muslim).
Dari Jabir bin Abdillah berkata: suatu ketika Rasululloh khutbah
jum’at kemudian mengatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik
pembicaraan adalah pembicaraan al-Quran, dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasululloh, dan sejelak-jelek perkara adalah yang baru, dan
seluruh bid’ah itu menyesatkan”. (H.R Muslim).
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Ikutilah al-Quran dan Sunnah dan jangan berbuat bid’ah, karena al-Quran dan Sunnah telah cukup buat kalian”.
Abdullah bin Umar bin Al-Khoththob berkata: “Seluruh bid’ah itu adalah menyesatkan, walaupun manusia menganggap ada yang baik”.
Mu’ad bin jabal berkata: “tinggalkanlah atas kalian perbuatan-perbuatan bid’ah, karena seluruh perbuatan bid’ah itu menyesatkan”.
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Ikutilah al-Quran dan Sunnah dan jangan berbuat bid’ah, karena al-Quran dan Sunnah telah cukup buat kalian”.
Abdullah bin Umar bin Al-Khoththob berkata: “Seluruh bid’ah itu adalah menyesatkan, walaupun manusia menganggap ada yang baik”.
Mu’ad bin jabal berkata: “tinggalkanlah atas kalian perbuatan-perbuatan bid’ah, karena seluruh perbuatan bid’ah itu menyesatkan”.
PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah secara bahasa berarti segala sesuatu yang baru dan tidak ada contoh sebelumnya, sebagaiman firman Alloh:
Bid’ah secara bahasa berarti segala sesuatu yang baru dan tidak ada contoh sebelumnya, sebagaiman firman Alloh:
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
“Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul”. (Q.S Al-Ahqof: 9).
Dan juga termasuk makna bid’ah secara bahasa adalah lafazd “Badii’” dalam firman Alloh:
Dan juga termasuk makna bid’ah secara bahasa adalah lafazd “Badii’” dalam firman Alloh:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi”. (Q.S Al-Baqoroh: 117).
Adapun bid’ah menurut istilah syariat terdapat beberapa redaksi dari para ulama’, tetapi maknanya sama.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: “yang dimaksud dengan perkara-perkara yang baru adalah segala sesuatu yang tidak ada dasarnya dari syariat, dan ini dalam istilah syariah disebut dengan Bid’ah, sedang segala sesuatu yang ada dasarnya dalam syariat Islam tidak disebut dengan bid’ah. Dengan demikian bid’ah menurut istilah syariat tercelah, hal ini berbeda dengan pengertiannya menurut bahasa”.
Adapun bid’ah menurut istilah syariat terdapat beberapa redaksi dari para ulama’, tetapi maknanya sama.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: “yang dimaksud dengan perkara-perkara yang baru adalah segala sesuatu yang tidak ada dasarnya dari syariat, dan ini dalam istilah syariah disebut dengan Bid’ah, sedang segala sesuatu yang ada dasarnya dalam syariat Islam tidak disebut dengan bid’ah. Dengan demikian bid’ah menurut istilah syariat tercelah, hal ini berbeda dengan pengertiannya menurut bahasa”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Kami telah menetapkan
kaidah sunnah dan bid’ah, bahwa bid’ah dalam Islam itu adalah segala
sesutu yang tidak disyariatkan Alloh dan Rasul-Nya, bid’ah bukanlah
sebuah perintah yang berarti wajib dan bukan pula sunnah, sedang
perintah yang bermakna wajib atau sunnah, serta terdapat dalil-dalil
syar’I yang memerintahkannya, maka itu bagian dari Islam yang telah
syariatkan, walaupun para ulama’ berselisih pandang atasnya, baik hal
itu dikerjakan pada masa Rasululloh atau tidak”.
Beliau juga mengatakan: “Bid’ah itu ada dua macam: bid’ah yang berkaitan dengan ucapan dan keyakinan, kedua berkaitan dengan perbuatan”.
Al-Imam Ibnu Rojab berkata: “yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala sesuatu yang baru, tidak ada dasarnya dalam syariat Islam, adapun yang terdapat dasarnya dalam syariat Islam, maka hal itu bukanlah bid’ah menurut syariat, walaupun itu termasuk bid’ah menurut bahasa. Dengan demikian segala sesuatu yang baru dan dinisbatkan kepada Islam, serta tidak ada dasarnya yang dapat dijadikan rujukan dalam syariat Islam, maka itu menyesatkan, Islam berlepas dari itu, baik berkaitan dengan keyakinan, perbuatan atau ucapan, terlihat atau tidak. Sedang yang didapati dari pendapat sebagain ulama’ salaf yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, maka yang dimaksud dengannya adalah bid’ah menurut bahasa, bukan menurut pandangan syariat, seperti ucapan Umar bin Khoththob, setelah mengumpulkan umat Islam dalam satu imam pada sholat tarawih dan beliau melihatnya: “Ini adalah bid’ah yang baik”.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “bid’ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam Islam, menyerupai syariat, dan dilakukan dengan tujuan berlebihan dalam beribadah kepada Alloh”.
Dari beberapa pengertian bid’ah yang diungkapkan para ulama’ diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa bid’ah itu adalah:
Beliau juga mengatakan: “Bid’ah itu ada dua macam: bid’ah yang berkaitan dengan ucapan dan keyakinan, kedua berkaitan dengan perbuatan”.
Al-Imam Ibnu Rojab berkata: “yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala sesuatu yang baru, tidak ada dasarnya dalam syariat Islam, adapun yang terdapat dasarnya dalam syariat Islam, maka hal itu bukanlah bid’ah menurut syariat, walaupun itu termasuk bid’ah menurut bahasa. Dengan demikian segala sesuatu yang baru dan dinisbatkan kepada Islam, serta tidak ada dasarnya yang dapat dijadikan rujukan dalam syariat Islam, maka itu menyesatkan, Islam berlepas dari itu, baik berkaitan dengan keyakinan, perbuatan atau ucapan, terlihat atau tidak. Sedang yang didapati dari pendapat sebagain ulama’ salaf yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, maka yang dimaksud dengannya adalah bid’ah menurut bahasa, bukan menurut pandangan syariat, seperti ucapan Umar bin Khoththob, setelah mengumpulkan umat Islam dalam satu imam pada sholat tarawih dan beliau melihatnya: “Ini adalah bid’ah yang baik”.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “bid’ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam Islam, menyerupai syariat, dan dilakukan dengan tujuan berlebihan dalam beribadah kepada Alloh”.
Dari beberapa pengertian bid’ah yang diungkapkan para ulama’ diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa bid’ah itu adalah:
1. Perkara yang diada-adakan dalam syariat Islam.
2. Tujuan melakukannya adalah beribadah kepada Alloh.
3. Perkara yang diada-adakan dan bertentangan dengan al-Quran, Sunnah/Hadits dan petunjuk ulama’
salaf (para Sahabat).
4. Bid’ah tidak mempunyai dasar yang akurat dalam syariat Islam.
5. Bid’ah bukanlah sunnah. Sunnah adalah landasan yang kuat dalam syariat Islam sedang bid’ah tidak.
6. Bid’ah berbentuk penambahan atau pengurangan dari apa yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.
7. Bid’ah bisa berbentuk ucapan, perbuatan atau keyakinan.
2. Tujuan melakukannya adalah beribadah kepada Alloh.
3. Perkara yang diada-adakan dan bertentangan dengan al-Quran, Sunnah/Hadits dan petunjuk ulama’
salaf (para Sahabat).
4. Bid’ah tidak mempunyai dasar yang akurat dalam syariat Islam.
5. Bid’ah bukanlah sunnah. Sunnah adalah landasan yang kuat dalam syariat Islam sedang bid’ah tidak.
6. Bid’ah berbentuk penambahan atau pengurangan dari apa yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.
7. Bid’ah bisa berbentuk ucapan, perbuatan atau keyakinan.
I. BID’AH PEMECAH BELAH UMAT
Bid’ah adalah penyebab utama perpecahan umat dan permusuhan di tengah-tengah mereka. Allah berfirman (yang artinya):
“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan,karena itu akan mencerai beraikan kalian dari jalanNya”. [1]
Setelah menyebutkan beberapa dalil-dalil bahwa bid’ah adalah pemecah
belah umat, Imam Asy Syatibi mengatakan :”Semua bukti dan dalil ini
menunjukan bahwa munculnya perpecahan dan permusuhan adalah ketika
munculnya kebid’ahan”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Istiqomah 1/42 :
”bid’ah itu identik dengan perpecahan sebagaimana sunnah identik dengan persatuan.”
II. BILA BID’AH DIANGGAP SUNNAH
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tatkala mengatakan:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ, وَيَرْبُوْ فِيْهَا الصَّغِيْرُ, إِذَا تُرِكَ مِنْهَا شَيْءٌ قِيْلَ تُرِكَتِ السُّنَّةُ. قَالُوْا : وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ : إِذَا ذَهَبَتْ عُلَمَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ, وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ, وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّيْنِ
Bagaimana sikap kalian apabila datang sebuah fitnah yang membuat orang-orang dewasa menjadi pikun, anak-anak menjadi tua dibuatnya, dan manusia menganggapnya sunnah, apabila ditinggalkan maka dikatakanlah, “Sunnah telah ditinggalkan.” Mereka bertanya, “Kapankah itu terjadi?” Beliau menjawab, “Apabila telah wafat para ulama kalian dan meninggal para pembaca kalian, sedikitnya orang-orang faqih kalian, banyaknya para pemimpin kalian, sedikitnya orang-orang yang amanah, dunia dikejar dengan amalan akhirat, ilmu selain agama dipelajari secara mendalam.”[5]
- Syaikh al-Albani menerangkan bahwa hadits ini sekalipun mauquf pada Ibnu Mas’ud tetapi dia tergolong marfu’ hukman (sampai kepada Nabi n/), lalu lanjutnya: “Hadits ini merupakan salah satu bukti kebenaran kenabian Nabi dan risalah yang beliau emban, karena setiap penggalan hadits ini telah terbukti nyata pada zaman kita sekarang, di antaranya banyaknya kebid’ahan dan banyaknya manusia yang terfitnah olehnya sehingga menjadikannya sebagai suatu sunnah dan agama, lalu ketika ada Ahlus Sunnah yang memalingkannya kepada sunnah yang sebenarnya, maka mereka mengatakan: “Sunnah telah ditinggalkan”.!! [6]
III. SENJATA PAMUNGKAS
- Dari Said bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua rakaat, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Said bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah aka menyiksaku dengan sebab shalat? “Beliau menjawab tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah”. [7]
- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengomentari atsar ini dalam Irwaul Ghalil 2/236 “Ini adalah jawaban Said bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlu Sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam dzikir, shalat dan lain-lain”.
IV. BID’AH HASANAH, ADAKAH?
Sungguh aneh bin ajaib apa yang dikatakan oleh al-Ghumari dalam bukunya “Itqon Shun’ah fi Tahqiqi Ma’na al-Bid’ah”
hlm. 5: “Sesungguhnya para ulama bersepakat untuk membagi bid’ah
menjadi dua macam; bid’ah terpuji dan tercela…Tidak ada yang
menyelisihnya kecuali asy-Syathibi!!!”.
Demikian ucapannya, sebuah ucapan yang tidak membutuhkan keterangan
panjang tentang bathilnya, karena para ulama salaf semenjak dahulu
hingga sekarang selalu mengingkari bid’ah dan menyatakan bahwa setiap
kebid’ahan adalah sesat. Alangkah bagusnya ucapan sahabat Abdulloh bin
Umar tatkala berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai suatu kebaikan. [8]
V. KELUARGA WARNA WARNI
Sungguh unik apa yang dikisahkan oleh Ibnu Hazm dalam Nuqothul Arus sebagaimana dalam Rosail Ibnu Hazm 2/112-115, di antaranya:
- Hirosy memiliki enam anak, dua anaknya Ahlu Sunnah, duanya lagi dari Khowarij, duanya lagi dari Rafidhoh, mereka saling bermusuhan, sehingga suatu kali bapak mereka mengatakan: “Sesungguhkan Allah telah mencerai beraikan hati kalian!!”.
- Sayyid al-Himyari Kisani adalah seorang Syi’ah, sedangkan kedua orang tuanya adalah khowarij, anaknya suka melaknat kedua orang tuanya dan kedua orang tuanya membalas melaknatnya juga!! [9]
VI. BID’AH MEMATIKAN SUNNAH
- Hassan bin ‘Athiyyah berkata: “Tidaklah suatu kaum melakukan suatu kebid’ahan dalam agama mereka, ekcuali Allah akan mencabut dari mereka sunnah semisalnya, kemudian dia tidak kembali ke sunnah hingga hari kiamat”. [10]
- Imam adz-Dzahabi berkata: “Mengikuti sunnah adalah kehidupan hati dan makanan baginya. Apabila hati telah terbiasa dengan bid’ah, maka tiada lagi ruang untuk sunnah”. [11]
VII. HATI ITU LEMAH
- Suatu kali, ada dua orang lelaki pengekor hawa nafsu datang kepada Muhammad bin Sirin seraya mengatakan: “Wahai Abu Bakr! Kami akan menceritakan kepadamu suatu hadits? Beliau berkata: Tidak. Keduanya mengatakan: Kami akan membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu. Beliau berkata: Tidak, kalian yang pergi ataukah saya yang akan pergi. [12]Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mendengarkan suatu kebid’ahan, maka janganlah dia menceritakan kepada teman duduknya, janganlah dia memasukkan syubhat dalam hati mereka”.
- Imam adz-Dzahabi membawakannya dalam Siyar A’lam Nubala’ 7/261, lalu berkomentar: “Mayoritas ulama salaf seperti ini kerasnya dalam memperingatkan dari bid’ah, mereka memandang bahwa hati manusia itu lemah, sedangkan syubhat kencang menerpa”.
VIII. ANTARA BID’AH DAN MASLAHAT
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadah, beliau berkata :
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍSetiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang nampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat. [13]
Beliau kemudian memberikan contoh, seperti adzan pada hari raya.
Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan faktor dilakukannya
juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat. Tetapi Nabi tidak
melakukannya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah maslahat. Kita
menyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatakan larangan khusus akan
hal tersebut atau sebelum kita mendapaakan bahwa hal tersebut membawa
mafsadah.
IX. PESAN SUNAN BONANG
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[14]
adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap
saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari
kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun!
Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih
ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama
pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang
mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan
bid’ah.[15]
X. MEMBANTAH AHLI BID’AH
Alangkah bagusnya ucapan seorang:
يَا طَالِبَ الْعِلْمِ صَارِمْ كُلَّ بَطَّالِ
وَكُلَّ غَاوٍ إِلىَ الأَهْوَاءِ مَيَّالِ
وَلاَ تَمِيْلَنَّ يَا هَذَا إِلَى بِدَعٍ
ضَلَّ أَصْحَابُهَا بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ
Wahai penuntut ilmu, seranglah setiap ahli kebathilan
Dan setiap orang yang condong kepada hawa nafsu
Janganlah dirimu condong kepada bid’ah
Sungguh pelaku bid’ah telah tersesat karena kabar burung. [16
Jakarta Selatan, 22 Agustus 2012
Pasar Minggu, Jl. Poltangan Raya No. 48
Penulis :IKHSAN,S.Pd |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar