Assalamau alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim
Loyalitas yang tinggi terhadap seorang ustadz atau ustadzah itulah
salah satu ciri yang mengakar kuat dalam nuansa Pondok Pesantren. Acap
kali, orang yang melihat akan terheran ketika seorang kyai menyuruh
santri mengerjakan sesuatu. Tanpa berfikir panjang para santri yang
mendapat dawuh atau perintah tersebut, akan mengerjakan tugas yang
diamanahkan. Santri terfikir sama sekali tentang imbalan. Keberkahan
adalah yang sangat mereka harapkan. Ketika teguran datang dari seorang
ustadz maka satu suku kata pun tidak terucap dari mulut para santri.
Mereka menyadari dan merenung kesalahan yang dia perbuat. Para santri
mencoba untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal
ini bukan semata-semata absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi
pendidikan yang yang mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dan
keberanian menghadapi resiko dari suatu perbuatan yang ditanamkan kepada
para santrinya.
Kehidupan pesantren mengajarkan para santri untuk bertahan dalam
menghadapi tantangan dalam kehidupan. Kehidupan santri utamanya di
pesantren salafi1 mengajarkan santri untuk hidup mandiri. Tidak sedikit
dari para santri yang harus hidup diantara “kekurangan”. Kondisi inilah
yang menjadi mereka banyak tirakatnya. Dan tirakat itulah yang dijadikan
sebagai senjata andalan bagi perasaan mereka ketika dilanda kekeringan
kantong. Tanpa mengeluh sedikitpun. Meski demikian semangat untuk
mencari ilmu tidak berkurang sama sekali. Mereka sangat percaya dengan
apa yang dituturkan dalam kitab ta’limul muta’alim. Banyak berfoya-foya
dalam menuntut ilmu hanya akan membuat ilmu tidak barokah dan otak tidak
bisa berfikir. Mereka tetap bersabar dalam menuntut ilmu dalam kondisi
apapun. Meski bangun dikala orang terlelap tidak menjadi beban
sedikitpun. Meski mereka harus menahan kelopak mata agar tetap terbuka
disaat kantuk menghantui, tidak membuat semangatnya redup. Berbekal
sebuah kitab kuning yang bertuliskan arab tanpa harokat dan bolpion
buntut mengais ilmu yang Alloh berikan lewat ulama-ulama terdahulu.
Sebuah pemandangan yang indah dikala kita menyaksikan saat itu.
Membicarakan pesantren tidak lepas dari kehidupan madrasah. Satu hal
yang agaknya tertinggal dari kehidupan mereka. Kemajuan teknologi
tampaknya masih belum diperhatikan oleh mereka. Meskipun banyak
pesantren yang sudah memiliki instansi pendidikan formal, tetapi
sentuhan akan teknologi masih belum terasa. Banyak madrasah yang berdiri
dibawah pesantren kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kesannya
masih masih dianaktirikan. Padahal kapasitasnya belum tentu dibawah
sekolah-sekolah umum apabila mendapat fasilitas yang memadai. Kurikulum
yang diajarkan dipesantren pun lebih beragam. Pendidikan agama mendapat
jam-jam yang khusus tidak satu jam seperti sekolah pada umumnya. Akan
tetapi mata pelajaran yang menjadi bahan ujian nasional juga tetap
menjadi prioritas. Sampai saat ini memang madrasah belum mampu bersaing
dengan sekolah lain dalam hal akademiknya maupun teknologinya. Hal ini
berimbas pada kemampuan lulusannya. Kehidupan pesantren yang jauh dari
kemajuan teknologi memang layak menjadi perhatian. Sederan prestasi yang
dicapai pesantren mungkin hanya bergaung dalam lingkup para santri.
Ironis memang, jika pesanteren tempat menuntut ilmu para santri yang
notabandnya juga sebagai generasi penerus bangsa tidak menjadi perhatian
sama sekali.
Di tengah kenidupan yang penuh pernik-pernik kemajuan teknologi masih
banyak pesantren yang “gagap teknologi”. Wajar jika ada sebagian
santri yang dikatakan susah membedakan antara eternit dan internet. Jika
pendidikan umum menjadi perhatian yang serius bagi masyarakat, mengapa
pesantren tidak? Pesantren dimata public hanya dijadikan sebagai sarana
mencetak para dai atau pemuka agama dalam masyarakat. Lulusan dari
pesantren hanya diprediksi berkutik di dua hal itu. Dan itulah yang
terjadi di sebagian besar pesantren utamanya daerah didaerah pedesaan.
Padahal pesantren atau madrasah sudah dapat menyeimbangkan antara
pendidikan agama dan umum dilihat dari system kurikulumnya. Banyak
langkah yang bisa ditempuh oleh pemerintah maupun pihak madrasah untuk
mengembangkan pendidikan dimadrasah maupun pesantren.
1. Peningkatan Mutu Pengajar.
Sistem kurikulum di Madrasah sudah sangat baik. Sistem pengajaran
yang mengarahkan siswa pada keseimbangan Intelektual, emosional dan
spiritual sudah dimiliki. Tinggal bagaimana para guru-guru menyampaikan
pada para siswanya. Jika para pengajar tidak berkompeten dalam bidangnya
kemudian mengajar tentunya hasilnya juga tidak maksimal. Fenomena
inilah yang masih ada dibeberapa madrasah. Orientasinya bukan memperoleh
lulusan yang berprestasi tapi cukup semuanya lulus disaat ujian. Inilah
yang harus diakui oleh sebagian besar madrasah. Peningkatan mutu
pengajar harus ditingkatkan melalui penataran khusus. Kalau perlu bagi
yang belum memperoleh gelar sarjana diberi subsidi untuk khusus untuk
melanjutkan studinya.
2. Pemenuhan Sarana dan Prasarana yang Memadai.
Di madrasah pendidikan tentang komputer sudah diajarkan. Akan tetapi,
itu hanya teori. Untuk mempraktekkan belum maksimal. Jumlah computer
hanya satuan di gunakan untuk ratusan siswa. Padahal computer saat ini
sudah menjadi kebutuhan utama disekolah-sekolah. Yang lebih ironis lagi
jika suatu madrasah tidak memiliki laboratorium computer khusus. Belajar
computer menjadi satu dengan ruang kantor. Jika berharap bahwa lulusan
wajib belajar 15 tahun menghasilkan lulusan yang berkompeten pemerintah
juga harus memperhatikan fasilitas di madrasah. Madrasah juga sebagai
tempat menuntut ilmu dan ujiannya pun disamakan. Selain pemerintah ,
pihak madrasah juga harus menjemput bola dalam hal ini. Terlalu banyak
berharap tanpa usaha yang jelas rasanya mustahil. Tidak mungkin pihak
pemerintah tahu persis kondisi semua madrasah di nusantara. Pihak
madrasah harus senantiasa berhubungan langsung dengan pemerintah lewat
Departemen Agama. Pemerataan bantuan sarana harus terpenuhi. Biarlah
sekolah maupun madrasah yang sudah maju tidak mendapat perhatian banyak,
tapi madrasah yang masih tertinggal dimaksimalkan. Tentunya tidak mudah
bagi pemerintah untuk menanamkan prinsip pemerataan ini.
3. Membina Hubungan dengan Sekolah Umum.
Kemajuan yang dicapai oleh sekolah umum seperti SMP dan SMA sudah
tidak bisa dipungkiri. Berbeda halnya dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
dan Madrasah Aliyah (MA).Untuk setara saja masih terlalu berat. Oleh
sebab itu belajar dari yang lebih baik adalah diperlukan. Ini dapat
ditempuh dengan membina hubungan dengan sekolah umum agar madrasah bisa
mengevaluasi kekurangan yang dimiliki. Langkah ini tidak terlalu berat
bila dibandingkan dengan dua hal diatas. Akan tetapi hasil yang dicapai
bisa lebih maksimal. Besarnya sebanding dengan kemauan pihak madrasah
untuk mengadakan hubungan demi kemajuan. Utamanya belajar tentang cara
pengajaran dan menejemennya. Jika belajar dari kurikulumnya jelas
berbeda. Dan kurikulum itu tidak perlu untuk dirubah tapi diperbaikki
cara pengajarannya.
Tiga langkah tersebut bila terpenuhi kapasitas dari madrasah setidaknya
sudah bisa setara dengan sekolah umum. Lulusannya pun akan dapat
bersaing dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum. Image masyarakat yang
memandang bahwa madrasah hanya sebagai pencetak pemuka agama dan
pelarian bagi siswa yang tidak lolos seleksi disekolah favorit
berangsur-angsur hilang.
Bravo Babul khaer
" Babul Khaerku, Babul Khaermu, Babul Khaer Kita Semuanya "
Wassalam'
Alumni Pondok Pesantren Babul Khaer Kalumeme Bulukumba
Jakarta Selatan, 22 Agustus 2012
Pasar Minggu, Jl. Poltangan Raya No. 48
Penulis :IKHSAN,S.Pd |
mantap kanda tulisannya, ditunggu tulisan-tulisan selanjutnya, :).... salam dari angkatan 16.....
BalasHapusthnks,
Hapustulisan2nya sangat brmanfaat kanda..,
BalasHapusMakasih & salam dari angkatan 16
iyye mksh,,salam balik dari angk. 14
Hapus